Mekarnya Pesona Bidadari

21.20 Posted In Edit This 0 Comments »

By : Irza Setiawan

Awan menghitam, sekelam langit malam, petir terus bersahut-sahutan, membuat gaduh suasana bumi, daun-daun berguguran, di terpa angin kencang, sudah dua jam lebih hujan terus mengalir, membasahi bumi, menggenangi setiap lubang di jalan, sehingga mirip danau yang di terpa lautan, di saat sang penguasa sibuk dengan kekayaan, sementara para rakyatnya kelaparan, tidak ingatkah meraka bahwa ada amanah yang terkandung di dalam jabatan, tidak seperti para khulafur rasyidin, yang siang malam menangisi sebuah jabatan, karena takutnya mengemban amanah, khawatir seekor kijang yang terperosok akibat lubang di jalan, apalagi seorang manusia.
Di serambi masjid, seorang pemuda duduk termenung, menahan suasana dingin, tidak ada yang menemaninya selain para malaikat yang tersenyum manis kepadanya, karena amalnya yang begitu mulia, matanya menatap kedepan, tetapi tatapannya kosong, pikirannya terus melayang, memikirkan dirinya di masa lalu, pemuda itu bernama Hafiz, sosok pemuda yang dikenal tanpa aturan, hidup dalam kemewahan, suka menghambur-hamburkan uang, siang malam dilaluinya dengan selalu berkelahi, sehingga dikenal masyarakat sebagai si tinju besi, mabuk sempoyongan, teler sampai jatuh kedalam got, judi sampai bangkrut, dan perbuatan nista lainnya, hanya saja dia sekalipun tidak pernah di sentuh wanita, meskipun banyak wanita nakal yang terpesona karena ketampanan wajahnya, tapi Hafiz tahu diri akan kehormatan dirinya.
Orang tuanya dikenal masyarakat sebagai ahli agama, tetapi sang anak hidup dalam pengaruh nista, akibat tak tahan dengan godaan syaitan durjana, bunda ayahnya sampai kehabisan akal dalam mendidik hafiz, tiga kali dia dimasukan kedalam pesantren, tiga kali pula dia dikeluarkan, karena perilakunya yang liar dan tanpa aturan, meskipun tingat kecerdasan Hafiz luar biasa, namun semua prestasinya seakan tidak berguna jikalau akhlaknya kurang mempesona.
Hingga di suatu malam, sebuah peristiwa yang sudah tercatat di lauh mahfuzh, megubah jalan hidupnya, bola matanya sendiri, melihat mobil ayahnya terpelanting di pinggir jalan, saat dua tubuh mulia terhimpit di badan mobil, meneteskan darah segar yang harum mewangi, para malaikat menjemput dua roh mulia, dengan senyuman termanis yang di lihat ayah bundanya, mengantarkan mereka bertemu Yang Maha Kuasa.
Hafiz baru mengenal bagaimana rasanya kehilangan, di tinggalkan dua mutiara yang selama ini di cintainya, dengan segenap jiwa, tetesan air matanya tidak tertahankan, di saat mengantar kedua jenazah ayah bundanya ke tempat peraduan, teringat akan nasihat dari bunda, tentang indahnya hidup dalam naungan islam, terbayang saat ayah mengajarkannya shalat dan membaca Al Quran, kini di saat dia ingin membahagiakan kedua orang tua, sudah terlambat, mereka telah di jemput Yang Maha Kuasa.
Di rumah, di sudut kamarnya, dia ambil mushaf kecil yang sudah berdebu, entah berapa tahun Al Quran itu tersimpan disana, ini adalah hadiah ulang tahun yang diberikan ayah bunda saat usianya enam tahun, terbayang lagi masa kecil saat hafalan Al Qurannya yang sudah mencapai 15 juz, masa-masa indah bersama orang tua memang anugerah terindah, Hafiz merasa bersalah, ketika tingkah lakunya banyak berubah, saat hati ayahnya sesak menahan sakit akibat segala maksiat yang dilakukannya, saat tetesan air mata bunda karena sifat kasarnya, mulai saat itu, dia bertekad untuk mengubah jalan hidupnya.
Dia jauhi segala kemewahan dunia, dia tinggalkan segala kemaksiatan yang pernah ada, hari-harinya di lalui dengan menuntut ilmu, membaca, menulis, berdakwah, dan sebagainya, sehingga dia dipercayakan teman-temannya menjadi ketua Lembaga Dakwah Kampus di tempatnya menuntut ilmu, kadang dia juga mengisi tausiah di beberapa masjid, dan mengisi acara radio di salah satu stasion radio swasta.
Untuk mengisi hidupnya, Hafiz membuka sebuah usaha sederhana, berdagang handphone kecil-kecilan, usaha yang berhasil dibangunnya melalui modal dari warisan orang tua, pelatihan memperbaiki handphone yang dia dapatkan dari temannya sangat membantu, kadang dalam sehari, dia bisa mendapatkan puluhan handphone rusak dari para pelanggan.
Malam ini, Hafiz mendapat sebuah pekerjaan yang lumayan rumit, sebuah handphone dari pelanggan yang pecah LCD membuat pikirannya harus focus, dia harus mengganti komponen LCD yang pecah dengan komponen baru, dengan penuh konsentrasi, hafiz menyatukan kaki-kaki kecil di komponen LCD, satu kaki saja meleset, maka bisa berakibat fatal.
Tetesan keringat mulai mengalir dari wajahnya yang putih, saat asiknya masuk kedalam dunia pekerjaannya, Adzan isya berkumandang, membangunkan tiap kehidupan yang mulai terlelap di telan malam, Hafiz kaget, sudah hampir 20 menit dia mengerjakan Handphone pelanggan, dia taruh handphone dan peralatannya di kotak khusus, agar tidak tercampur dengan handphone yang lain, saat menuju pintu, telpon berdering, memecah suasana sepi penghuni rumah, Hafiz urung melangkah, pikirannya mulai terbagi, telpon terus berdering, lalu dia berbisik dalam hati.
“ Lebih baik memenuhi panggilan Allah dulu, soal telpon gampang, lagipula akhirat lebih utama daripada dunia. “
Lalu dengan senyuman manis, Hafiz melangkah menuju masjid, meninggalkan suara ribut dering handphone di dalam rumahnya.
Usai shalat, Hafiz merenung di dalam masjid, pikirannya terus berputar, ada apa dengan pemuda zaman sekarang? Masa yang azan sudah kakek-kakek, imamnya juga sudah kakek-kakek, jamaah yang shalat juga kebanyakan sudah berusia lanjut, kemana para generasi muda zaman sekarang, apa gemerlap dunia sudah sangat mempengaruhi mereka? Hafiz terus merenung sendirian, otaknya berputar mencari bahan, siapa tahu muncul ide untuk nulis cerpen atau artikel tentang generasi muda zaman sekarang.
Saat melangkah pulang, mata Hafiz melotot, menatap pelataran masjid, sandalnya tidak terlihat, lalu Hafiz memutar, mengitari setiap sudut halaman masjid untuk mencari sandalnya yang lenyap, tetap saja tidak ditemukan, hatinya mulai tak karuan, bingung apa yang harus dilakukan, lalu sebuah isyarat hati membuyarkan lamunan, pikiran positifnya mulai berjalan.
“ Lebih baik kehilangan sandal, daripada kehilangan shalat berjamaah. “
Hafiz melangkah pulang tanpa alas kaki, jarak yang ditempuh memang lumayan jauh, namun ketenangan hatinya karena sehabis menghadap Yang Maha Kuasa, membuat pikirannya selalu nyaman.
Di tempat sepi, sebuah mobil melaju kearah tubuh Hafiz, hampir saja menabraknya, Hafiz menggulingkan tubuhnya untuk menghindar dari mobil, mobil berjalan tak karuan, lalu menabrak sebuah dinding beton, Hafiz bangkit, dia bersihkan segala bubuk-bubuk tanah yang mengotori baju putihnya, dia urut-urut dadanya sembari banyak mengucap istigfar.
“ Dasar bodoh, nabrak orang saja tidak bisa. “
Terdengar suara di dalam mobil, kegeramannya membuat pecah kesunyian malam, Hafiz kaget bukan kepalang, siapa gerangan yang berada di dalam mobil, sehingga suaranya seperti guntur yang menimpa siang bolong, Hafiz memperhatikan tiap sudut badan mobil, pintu mobil mulai terbuka perlahan, terlihat tiga sosok orang berbadan besar, rambut mereka panjang awut-awutan, penampilan mereka seperti preman jalanan, mata Hafiz menelusuri ketiga orang di depannya.
“ Hai Hafiz, masih ingat sama aku? “ Gertak seorang berbaju merah diantara mereka, Hafiz mencoba mengingat-ingat, siapakah gerangan dirinya, akhirnya bayangan dua tahun yang lalu muncul, kepalanya mulai terbayang, Hafiz ingat bahwa pria itu adalah orang yang mencoba merampoknya di sebuah tempat hiburan malam, namun naas, pria itu malah babak belur di hajar Hafiz, sehingga masuk rumah sakit dan hampir tewas, padahal keadaan tubuh Hafiz waktu itu sedang mabuk berat, jalannya tak beraturan, teler sempoyongan.
“ Oh Herman kan? Assalamualaikum, apa kabar? Lama tak jumpa. “ Sapa Hafiz dengan santun kepada Herman, pria yang mulai di kenalinya.
“ Ahhh…, banyak bacot loe, kejadian malam itu takkan kulupakan, sekarang waktunya pembalasan. “ Balas Herman dengan geram.
“ Afwan, saat itu saya hanya membela diri, tetapi saya memang tidak terkendali sehingga membuatmu masuk rumah sakit, lagipula kalau ada orang yang ingin merampokmu, apalagi saat itu kamu sedang mabuk berat, bagaimana menurutmu? “
“ Afwan afwan, gue kagak ngarti , bakwan gorengan itu maksud loe, ini adalah waktunya bagimu untuk menerima pelajaran, hei semua, ayo kita selesaikan sesuai adat. “ Kata Herman kepada lima orang anak buahnya.
Salah satu anak buah Herman jadi bingung, lalu bertanya kepadanya.
“ Sesuai adat, maksudnya apa bos? Kan adat itu banyak, ada adat Jawa, adat Banjar. “
Herman menoleh kepada anak buah yang bertanya, dengan muka masam, dia menimpali.
“ Sesuai kekeluargaan maksudnya !!! “
Anak buahnya yang lain kembali menimpali.
“ Apalagi kekeluargaan, banyak lagi bos, ada paman, bibi, kakek, dan yang lain. “
“ Sontoloyo kalian berdua, maksud aku hajar dia!! “ Teriak Herman kepada kedua anak buahnya, sehingga membuat mereka semua kalang kabut dan mulai menyerang Hafiz.
Hafiz bersiap menerima penyerangan mereka, dua orang mulai mendekat, pukulan dari kedua anak buah Herman mulai mengacung ke wajahnya, tetapi berhasil dihindarinya, Hafiz tidak membalas memukul, hanya balas mendorong tubuh mereka berdua sehingga kedua anak buah Herman terpelanting ke tanah, Hafiz memang tidak ada niat menyakiti mereka, hanya membela diri, apalagi latihan karate yang dia pelajari waktu kecil masih terlihat sempurna.
Melihat kedua anak buahnya terjatuh, Herman mulai geram, dengan teriakan yang memecah kesunyian malam, Herman mulai menyerang Hafiz, namun hafiz selalu berhasil menghindari tiap pukulan dan tendangan Herman yang membabi buta, lalu dengan langkap sigap, Hafiz berhasil menangkap kedua tangan Herman, memasungnya kebelakang, dan mengikat kedua tangannya dengan tali yang sudah dia persiapkan.
Melihat kedua anak buah yang tak berdaya, dan Herman yang terikat, Hafiz mendekati mereka dengan santun.
“ Saudara Herman, afwan itu berarti maaf, semoga menjadi ilmu baru dan menambah wawasanmu, mengenai kejadian waktu lalu, aku memang pantas mendapat balasannya, jadi ikatanmu kulepas, silakan kamu memukulku sekali, aku tidak akan melawan. “
“ Benar apa yang kau katakan “ Jawab Herman.
“ Iya, silakan, aku tidak akan berbohong, tapi hanya satu pukulan, oke. “
“ Baiklah. “
Hafiz kemudian melepas ikatan di kedua tangan Herman, lalu Hafiz berdiri, bersiap menerima pembalasan, Hafiz pasrah dengan apa yang menimpa dirinya, di dalam hati, istigfarnya selalu di ucapkan, semoga menjadi pelebur dosa di masa lalu.
Tidak lama kemudian, sebuah tinju melayang dan menghantam wajah Hafiz, Hafiz terjatuh ke tanah, setetes darah segar mengalir dari sudut bibirnya, Herman terlihat puas melihat perlakuannya, lalu Herman menatap kepada anak buahnya.
“ Hei, jangan diam saja, ayo hajar dia. “
“ Lo, bukannya bos berjanji hanya memukulnya satu kali. “ Jawab salah satu anak buah Herman.
“ Persetan dengan janji, ayo hajar dia. “ Teriak Herman.
Akhirnya pembalasan pun terjadi, Hafiz di hajar mereka secara membabi buta, darah segar mengalir semakin deras, menyisakan sebuah tubuh tak berdaya, mobil berjalan, meninggalkan jasad lemah yang semakin jatuh, petir mulai berbunyi, awan hitam bergumpal di langit, hujan deras mengguyur bumi, membasahi badan yang rapuh, Hafiz berusaha menyeret tubuh lemahnya untuk berteduh, namun tak sanggup.
Saat kondisinya semakin lemah, terlihat seorang gadis cantik berkerudung lebar, berjalan cepat dengan payung di tangannya, dengan tergesa dia mengulang hafalan Al Quran yang ada di tangannya, malam ini hafalan tersebut akan di setorkan kepada sang ayah tercinta, di persimpangan Jalan, betapa terkejutnya sang gadis ketika melihat sesosok tubuh tak berdaya berlumuran darah sedang terbaring di tanah, dengan memburu, gadis itu mendekati tubuh Hafiz untuk memberikan pertolongan.
***
Bayangan putih mulai mengitari pandangan, samar terdengar suara alunan Al Quran mengalun lembut, sinar cahaya mulai menangkap kegelapan malam, lalu satu titik cahaya mulai muncul, cahaya itu semakin luas dan melebar, pandangan kabur mulai memudar, Hafiz membuka perlahan kedua kelopak matanya, dia kitari lingkungan di sekitarnya, sang gadis menghentikan bacaan Al Qurannya.
“ Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah siuman. “
Sebuah suara lembut mengejutkan diri Hafiz, membuyarkan lamunan, dan menghilangkan rasa penasaran, sudut mata Hafz menerawang, menangkap sesosok gadis berkerudung biru di depannya.
“ Aku ada dimana? “
“ Alhamdulillah, kamu dah siuman, kamu sedang ada di rumah sakit, 2 jam yang lalu aku menemukanmu pingsan di jalan. “
Hafiz menerawang, mengingat hari pembalasan dari orang yang menghajar tubuhnya.
“ Terima kasih mbak, sudah menyelamatkanku. “ Kata Hafiz kepada gadis berkerudung biru.
“ Berterima kasihlah pada Allah mas, kata dokter, kondisi fisikmu sangat prima, sehingga tubuhmu bisa bertahan, seandainya orang biasa, mungkin kamu bakal lebih ambruk lagi, dan sayapun tidak menyangka, kamu bisa siuman secepat itu. “
Hafiz hanya membalas jawaban gadis dengan senyuman, tidak lama kemudian, dering handphone berbunyi, membuyarkan lamunan keduanya, sang gadis berusaha mengambil handphone di saku jubahnya, kemudian dia terlibat percakapan dengan seseorang.
“ Maaf mas, barusan ayah nelpon, kayaknya saya harus pulang dulu, nanti dokter akan datang untuk merawatmu. “
Si gadis kemudian berbalik, menuju keluar, saat tangannya menyentuh pintu, suara Hafiz mencegatnya.
“ Tunggu mbak, tunggu sebentar. “
Si gadis berhenti, kemudian menatap Hafiz.
“ Nama Mbak siapa? “
“ Aufa Azzahra, panggil saja Aufa “ Jawab si gadis kemudian berlalu, meninggalkan Hafiz.
***
Tubuh Hafiz memang kuat dari dulu, sehingga setiap pukulan dan tendangan yang dia terima seakan angin lalu saja, setelah satu hari dirawat, kini tubuhnya telah kembali normal, hanya sedikit bekas luka saja yang masih tampak kelihatan, Hafiz berjalan pelan menuju pulang, udara cerah seakan menyapa tubuh seorang pejuang, yang habis mendapatkan sebuah pembalasan, pelebur dosa dalam kehidupan, meskipun cara mereka terlalu kejam, namun pikiran positifnya terus berjalan.
Sesampainya di tempat tujuan, betapa kagetnya Hafiz ketika melihat tempat naungan, luluh lantah di telan tanah, menjadi abu di jalanan, rumahnya hancur berantakan, menyisakan bubuk putih berserakan, berhamburan bagai di telan lautan.
“ Apa yang terjadi dengan rumahku? “
Sebuah pertanyaan masuk ke relung hati yang terdalam, hanya satu hari dia tidak kelihatan di kampung halaman, namun rumahnya sudah lebur menjadi arang.
“ Hafizzz…..”
Teriakan seseorang memecah lamunan, Hafiz kaget bukan kepalang, seorang bapak berlari cepat ke arahnya.
“ Rumahmu Hafiz…., rumahmu di bakar Herman dan anak buahnya, para penduduk sudah berusaha menangkapnya, namun mereka berhasil lolos dari kejaran, barang barangmu pun tidak sempat diselamatkan. “
Hafiz tertunduk lesu, tiada lagi harta selain apa yang melekat di badan, hanya pakaian usang dan beberapa perban, namun pikiran positifnya harus terus berjalan, ini hanyalah sebuah ujian, Allah tidak akan menguji seseorang melampaui kesanggupan hambaNya.
Suara azan bergema memecah kesunyian, Hafiz berjalan menuju masjid, dia ingin mencurahkan segala permasalahan kepada Allah, agar hatinya semakin tenang.
***
Dengan modal seadanya, Hafiz membeli sebuah peralatan, sikat dan semir sepatu, untuk sementara, dia mengisi jalan hidupnya dengan jadi tukang semir, sebagai penjemput rizki untuk modal makan.
Panasnya terik mentari seakan membakar kulit, tubuh Hafiz yang putih mulai memerah, keringat berkucuran, siang ini Hafiz sudah memperoleh uang 15 ribu, lumayan buat makan siang, Hafiz berjalan menuju rumah makan, sesampainya di tempat tujuan, Hafiz di cegat oleh seorang nenek tua yang sangat memprihatinkan, pakaiannya lusuh dan tak beraturan, berharap sebuah sedekah untuk sesuap makan, hati Hafiz miris melihat penderitaan, tanpa pikir panjang, dia sedekahkan semua penghasilannya kepada sang nenek, sang nenek begitu gembira, rasa bahagianya sungguh tidak bisa dilukiskan.
Matahari semakin meninggi, sudah pukul 2 siang, perut Hafiz mulai keroncongan, apalagi pagi tadi hanya sepotong roti yang dia makan, perutnya semakin tidak tertahankan, matanya mulai berkunang kunang, saat kondisi tubuh semakin menurun, muncul sebuah harapan, Hafiz menemukan sebungkus roti di jalan, suasana jalanan sepi begitu mencekam, Hafiz mengambil roti itu, kemudian mulai makan, mengganjal perutnya yang semakin keroncongan, saat setengah roti masuk kedalam mulut, Hafiz mulai kaget bukan kepalang, dia belum tahu siapa pemilik roti ini, apalagi dia belum meminta izin untuk memakannya.
Hafiz mengitari lingkungan, tiada seorangpun terlihat, hanya udara yang menemani, kemudian Hafiz berjalan ke sebuah rumah di dekat roti di temukan, dengan sangat santun dia ucapkan salam, dan bertanya siapa pemilik roti ini, namun tuan rumah tidak tahu menahu soal roti itu, tuan rumah menjelaskan, biasanya tiap pagi ada orang jualan roti keliling, siapa tahu dari sepedanya, sebungkus roti terjatuh di jalan.
Besok paginya, Hafiz menunggu tukang roti di persimpangan jalan, rintik hujan mulai turun, membasahi setiap arena kehidupan, namun sedikitpun Hafiz tidak beranjak, meski tubuhnya basah kuyup dan di terpa rasa dingin yang mencekam, dia lebih takut barang haram masuk ke dalam tubuhnya, karena belum mendapat izin memakan roti orang.
Hujan turun semakin deras, tubuh Hafiz mulai lemas, pijakan kakinya sempoyongan, saat harapan mulai hilang, terlihat tukang roti mulai datang, harapan yang memudar mulai bangkit, dengan secepat kilat, Hafiz berlari mendekati tukang roti.
“ Maaf pak, bapak penjual roti keliling yang biasa lewat di jalan ini? “
“ Benar dik, ada apa ya? “
“ Begini pak, kemarin perut saya sangat lapar, lalu saya menemukan sebungkus roti di jalan, saya yakin itu roti bapak yang jatuh, lalu saya sudah memakannya setengah, jadi saya cuma mohon keridhaan bapak sebagai pemilik roti. “
“ Oh begitu dik, hmm.. jarang ada anak muda sepertimu, sementara perilaku korupsi sangat berhamburan di Negara kita, ya sudah, singkat saja, bapak akan meridhakan roti itu, asal kamu bekerja jualan roti selama tiga bulan, tanpa bayaran, bagaimana? “
Hafiz kaget bukan kepalang, namun dia lebih memilih pilihan itu daripada harus mendapat dosa akibat memakan barang haram.
“ Baiklah pak, saya akan jual roti bapak selama tiga bulan tanpa bayaran. “
Lalu dimulailah, perjuangan seorang Hafiz dengan berjualan roti, di tengah terik mentari yang membakar kulit, dan guyuran hujan yang mempersulit, namun ridha Allah berupa ampunan atas dosa yang dilakukan, adalah semangatnya dalam berjuang.
Siang malam Hafiz jualan roti tanpa bayaran, hanya saja bapak pemilik roti bukan orang sembarangan, beliau bukan bapak yang kejam, karena jatah makan selalu di berikan.
Tiga bulan akhirnya berlalu, ini waktunya minta keridhaan, kepada bapak atas roti yang dia makan, dengan senyum cemerlang, Hafiz menghadap bapak pemilik roti.
“ Pak, sudah tiga bulan saya bekerja, sekarang saya minta ridha atas roti yang saya makan dulu. “
Bapak pemilik roti tersenyum.
“ Hafiz, aku akan merelakan roti itu asal kamu mau menikahi putriku, dia gadis bisu, tangannya buntung, dan kakinya lumpuh, bagaimana? “
Bagai petir yang menyambar di siang bolong, Hafiz kaget bukan kepalang, demi roti yang dia makan, dia harus menikah dengan gadis seperti itu, namun rasa takut kepada Allah atas roti yang haram lebih membuatnya mengambil pilihan, menikahi gadis bisu, bertangan buntung, dan lumpuh kakinya.
Tanpa pikir panjang, Hafiz menerima tawaran bapak pemilik roti, untuk menikahi putrinya, dengan langkah gontai, Hafiz menemui calon istrinya, begitu sampai di rumah, dua calon pengantin di pertemukan.
“ Hafiz, tunggu disini, aku akan memanggil putriku, kata bapak pemilik roti kepada Hafiz. “
Saat di panggil, sesosok gadis muncul, betapa kagetnya Hafiz saat melihat anak pemilik roti, dia tidak menemukan kecacatan sedikitpun pada fisik calon istrinya, bahkan gadis itu mempunyai kecantikan sempurna, apakah memang dia calon istri yang di maksud, atau anak bapak yang lain, saat dua pandangan bertemu, Hafiz kaget, keringat dingin mulai keluar, dengan suara pelan, Hafiz berucap sesuatu.
“ Aufa Azzahra “
Aufa Azzahra, gadis yang pernah menyelamatkan hidupnya.
“ Maaf pak, apa saya tidak salah, diakah calon istriku? “ Sementara itu, Aufa tersenyum malu kepada Hafiz
“ Iya, dia calon istrimu, aku akan merelakan roti yang kamu makan, asal kamu bersedia menikah dengannya. “
“ Tapi, bukankah putri bapak seorang gadis bisu, bertangan buntung, dan lumpuh kakinya, kalau putri bapak yang ini, dia adalah bidadari dambaan setiap pria, tentu banyak pemuda yang terpikat olehnya, saya tidak mengerti maksud bapak. “
Dengan bijaksana, bapak pemilik roti menjawab
“ Iya, dia gadis bisu, maksudnya dia tidak pernah berbicara kotor, lagi kasar, setiap ucapannya selalu lembut dan santun, dia gadis buntung, maksudnya tangannya tidak pernah sekalipun melakukan kemaksiatan, dan dia gadis lumpuh, karena dia tidak pernah melangkah menuju tempat maksiat, jadi apakah kamu mau menikah dengannya? “
Hafiz baru mengerti, rasa gembira tidak bisa di sembunyikannya, saat pertama kali bertemu Aufa Azzahra, saat itu pula Hafiz mengenal yang namanya cinta, dari dulu siang malam dia berusaha mencari gadis dambaannya, namun takdir selalu melumpuhkan harapannya.
Tetapi, harapan ini bangkit kembali, setelah mulai memudar dan menghilang, pesona bidadari mulai mekar, dua hati terpaut jalinan suci, dalam ridha Ilahi, menjadi sesosok pengantin dunia akhirat, hingga menempuh surga, bahagia selama lamanya.
Amuntai, Jum’at 5 Februari 2010, jam 5.25 sore
Sebagian diambil dari kisah nyata

0 komentar:

Pengunjung

Sekarang Udah Jam Segini Nih :)